Header Ads

Lawas

Masyarakat Indonesia dikenal memilki kebudayaan yang luhur dan berakar sejak zaman dahulu kala. Kebudayaan itu mencakup seluruh hasil pola pikir dan karya cipta masyarakat yang hidup pada setiap zaman. Meski kadang sudah tak utuh, namun sisa dan warisan mereka masih dapat kita nikmati hingga kini. Salah satu jenisnya adalah dalam bentuk kesusastraan atau karya sastra, baik itu sastra lisan maupun sastra tulisan. Kesemuanya menuturkan kisah dan karakteristik masyarakat yang khas, pada setiap ruang dan waktu kehidupan bangsa kita.
Periode awal kesusatraan Sumbawa atau yang biasa disebut Samawa merupakan dimulainya sebuah tradisi lisan. Sejumlah karya sastra Tau Samawa, juga kisah dan dongeng yang diucapkan atau dinyanyikan (seperti Troubadour di Perancis), acara keagamaan, upacara suci dan pemerintahan, dipengaruhi oleh norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat saat itu.

Prinsip utama masyarakat saat itu adalah bahwa pada hakikatnya manusia dan alam adalah merupakan sebuah satu kesatuan. Disamping itu tata karma dan adab budi pekerti juga merupakan hal pokok yang menjadi pegangan utama bagi mereka. Itu sebabnya, kebanyakan hasil karya sastra zaman itu mengungkapkan bentuk-bentuk kecintaan pada alam, hormat kepada orang tua, guru, dan pemimpin, serta kesucian seorang perempuan.
Masyarakat tradisional Samawa menuliskan karyanya lewat daun lontar yang telah dikeringkan yang disebut bumung. Bumung tersebut digoreskan oleh pisau kecil yang disebut pangat. Setelah itu mereka menggantungnya di dinding atau tiang-tiang rumah.
Salah satu bentuk sastra lisan Samawa yang terkenal disebut Lawas, yang berbentuk syair yang dilagukan. Dalam sejarah perkembangannya, Lawas mendapat pengaruh yang cukup besar dari Elom Ugi atau syair Bugis.  Sementara itu, sastra tulisan yang ditulis pada daun lontar disebut Satera Jontal.

Lirik-lirik lawas dalam perkembangannya kemudian diadaptasi dalam bentuk music dan lagu. Yang cukup populer adalah music orchestra Samawa yang disebut Gong Genang. Gong Genang terdiri dari sebuah gong, dua buah gendang (genang), dan sebuah serune yang berfungsi sebagai pembawa melodi. Ada beberapa jenis music tradisional lain yang juga cukup baik perkembangannya, seperti Ratib (Rabana Ode dan Rabana Rea.Kebo, ini mendapatkan pengaruh dari Arab setelah penyebaran Islam), Bagenang, Sakeco, Langko, Saketa, Gandang, dan Bagesong. Pada masa kini, syair-syair lawas itu telah pula diadaptasi dalam bentuk lagu daerah Samawa diiringi music modern.
Lawas ditampilkan oleh masyarakat pada acara Barapan Kebo, menuai padi, pernikahan, sunatan, serta dalam berbagai acara hiburan lain. Lawas ditampilkan secara perorangan, maupun berkelompok, yang kemudian disebut juga Balawas. Balawas mengkombinasikan lawas, music, dan temung (tembang). Balawas kemudian menjadi seni menyampaikan lawas yang dikenal dalam bentuk Saketa, Gandang, Ngumang, Sakeco, Langko, Badede, dan Basual.
Bentuk Lawas memiliki kesamaan dengan pantun Bugis dan patu’u Bima, yaitu sama-sama memiliki bentuk syair rata-rata tiga baris. Namun ada juga Lawas yang terdiri dari e4 atau 6 baris. Setiap barisnya terdiri atas delapan suku kata. Interaksi ini dimungkinkan, sebab menurut catatan-catatan sejarah, Islam masuk ke Bima, salah satunya melalui orang Bugis, Makasar, Bajo, Selayar, Mandar, dan Arab tentunya.
Lawas sebagai bentuk puisi rakyat, hingga kini masih bertahan secara turun temurun, dan diakui sebagai folk literature yang terus pula mengalami perkembangan. Lalu Manca mengemukakan bahwa Lawas sama dengan sajak yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang pujangga yang berasal dari kota Lawas. Namun pendapat ini banyak ditolak oleh budayawan Sumbawa, sebab menurut mereka Lawas adalah kesusastraan yang tumbuh dan berakar dari budaya asli Samawa.

Lawas Islam, foto credit Google

Berdasarkan kandungan isinya, lawas dibagi tiga, yaitu:
Lawas tau Ode (anak-anak), yang umumnya mengungkapkan ekspresi ibu atau seorang kakak ketika menidurkan bayinya.
Dede intan mua dewa (duhai sayang duhai gusti)
Mua bulaeng tu tino (duhai emas yang didulang)
Cante jina asi diri (Sungguh pandai meratap diri).
Lawas taruna dadara (untuk remaja) yang isinya tentang percintaan, curahan hati kaum remaja, perpisahan.
Ajan sumpama kulalo (Seandainya aku datang bertandang)
Kutarepa bale andi (mampir di rumah adinda)
Beleng ke rua e nanta (Adakah belas kasihan?)
Lawas Tau Loka (orang tua), yang isinya nasehat , ajaran moral dan agama. Lawas ini ditampilkan biasanya pada acara pernikahan sebagai nasihat bagi pengantin.
Pati pelajar we ate (patuhi ajaran wahai sukma)
Namun pina buat lenge (jangan tunaikan laku buruk)
Pola tu leng desa tau (tahu diri di rantau orang).

Penyampaian lawas Samawa, secara garis besar dibagi dua menurut tempat terbit dan terbenamnya matahari, yaitu:
Ano Siyup yang berkembang di bagian timur kabupaten Sumbawa, termasuk kota Sumbawa.
Ano Rawi yang berkembang di bagian barat, termasuk kabupaten Sumbawa Barat dan Taliwang.
Versi Ano Rawi mempunyai irama yang lebih cepat.


Sebetulnya masih banyak yang menarik kita gali dari kesusatraan Sumbawa ini, Kelak saya akan memuatnya secara berseri, bersamaan dengan seri kesusatraan Nusantara lainnya. Yang patut dibanggakan adalah semua bentuk kesusastraan itu masih terjaga hingga kini, dan tuturan isinya yang halus penuh dengan adab budi pekerti dan cita rasa yang tinggi. Sungguh ini membuktikan keluhuran budaya Nusantara kita.

Tidak ada komentar

Gambar tema oleh suprun. Diberdayakan oleh Blogger.